Selasa, 27 November 2012

The Last of Rose

Lagi-lagi aku mendapat kiriman bunga, seikat mawar merah. Seperti biasa tak ada nama pengirimnya. Awalnya aku penasaran siapa pengirimnya ketika bulan awal aku menerima kiriman-kiriman bunga mawar itu. Tapi lama-lama aku tak begitu menghiraukannya, aku tak mau ambil pusing dengan kejadian ini.
“Pagi Ma,” sapaku sambil mencium pipi mama yang sedang menyiapkan sarapan untuk kami.
“Pagi sayang. Kiriman bunga lagi ya?” tanya mama.
“Yups,” jawabku cuek seraya meletakkan bunga mawar yang baru ku terima di vas dekat ruang makan.
“Papa ke mana Ma?” tanyaku.
“Udah berangkat tadi habis subuh, ada meeting di luar kota,” jawab mama.
“Ya udah ya Ma, Dara berangkat dulu. Assalamu’alaikum,” pamitku.
“Nggak sarapan dulu?” tanya mama.
“Aku bawa rotinya aja deh, nanti dimakan di jalan. Soalnya Dara ada rapat redaksi majalah,” jelasku.
“Ya udah kalo gitu. Kamu hati-hati di jalan ya,” ucap mama. Aku tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah mama.
Sesampainya di sekolah, aku bergegas menuju ruang redaksi majalah. Ternyata anggota yang lain sudah banyak yang datang. Ya, minggu depan kami memang harus mengirimkan semua artikel ke percetakan karena akhir bulan ini majalah sudah harus diterbitkan.
“Pagi semua! Maaf ya telat, biasa macet,” sapaku.
“Kirain nggak dateng. Ke mana aja lo?” tanya Ana, salah satu partner sekaligus sahabat baikku. Aku hanya tersenyum sambil menyiapkan bahan untuk rapat pagi ini.
“Ok, kita mulai aja rapatnya. Udah jam 7 kurang 15 nih, bentar lagi masuk. Gimana Ra cerpen sama artikel kesehatannya?” tanya Dhio selaku pimred majalah sekolahku.
“Udah beres kok, tinggal diedit-edit dikit aja. Nanti habis aku edit aku kasih ke kamu,” jawabku.
“Foto-fotonya udah semua?” tanya Dhio.
“Sip bro, udah semua,” jawab Dendi.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 07.00. Rapat ditunda sampai pulang sekolah nanti. Aku dan teman-teman lain masuk kelas masing-masing. Kebetulan aku, Ana, dan Dhio sekelas. Aku pun menuju ke tempat dudukku. Ana menyusulku karena dia teman sebangkuku.
“Dapet kiriman bunga lagi?” tanya Ana. Aku mengangguk serambi menyiapkan buku pelajaran pagi ini.
“Lo nggak mau cari tau?” tanya Ana. Aku menggeleng.
“Emangnya lo nggak penasaran apa? Udah satu tahun lebih lho,” tanya Ana lagi. Dan lagi-lagi aku menggeleng.
“Ehem,” Dhio berdehem. “Boleh ganggu bentar?” tanya Dhio yang tiba-tiba menghampiri mejaku.
“Kenapa Dhi?” tanyaku.
“Nanti pulang bareng yuk,” ajak Dhio.
“Nggak usah deh, makasih. Aku ada urusan sama Ana,” tolakku.
“Oh ya udah kalo gitu, mungkin lain kali,” jawab Dhio lemas. Dia pun kembali ke tempat duduknya.
“Lo kenapa nolak ajakannya sih?” tanya Ana.
“Ya karena aku nggak mau,” jawabku.
“Iya, tapi kenapa? Lo kan tau, dia udah lama naksir sama lo,” ucap Ana.
“Justru itu, aku nggak mau jadi PHP, pemberi harapan palsu. Mending aku tolak ajakannya baik-baik kan dari pada aku nunjukin sikap nggak enak kalo pulang bareng dia. Kamu tau kan, aku nggak suka sama Dhio. Dan lagi pula aku udah pacar gitu,” jelas Dara.
“Ya udah deh, terserah lo aja,” timpal Ana.
“Selamat pagi anak-anak!” sapa Pak Rahmat, guru Matematika di kelasku.
“Selamat pagi Pak!” balas murid-murid.
“Seperti janji bapak minggu lalu, hari ini kita ulangan. Semua buku tolong disimpan, yang boleh di atas meja hanya alat tulis saja,” ucap Pak Rahmat tegas. Beliau pun mulai membagikan soal ulangan.

Setengah jam kemudian ada seorang murid yang datang terlambat. Dia ngeloyor gitu aja tanpa mengetuk pintu dan tidak menyapa Pak Rahmat.
“Evan! Darimana saja kamu jam segini baru datang?” tegur Pak Rahmat.
“Macet Pak,” jawab Evan. Sudah dua tahun ini aku sekelas dengan Evan. Dia memang selalu datang terlambat setiap hari, dan alasannya selalu sama ‘MACET’. Padahal setahuku jalan dari rumahnya tak begitu macet.
“Macet lagi?” tanya Pak Rahmat.
“Iya Pak,” jawab Evan santai.
“Kamu bapak hukum lari keliling lapangan bola dua kali,” perintah Pak Rahmat. Evan pun berjalan ke luar kelas. Sebelum dia benar-benar keluar kelas, aku mengacungkan tangan dan angkat bicara.
“Maaf Pak, apa hukumannya tidak bisa diperingan?” tanyaku sopan.
“Tidak. Evan sudah terlalu sering terlambat,” jawab Pak Rahmat.
“Begini Pak, kita kan sedang ulangan. Apa hukumannya tidak bisa ditunda? Bagaimanapun juga Evan berhak mengikuti ulangan seperti siswa yang lain Pak,” ucapku mencoba membujuk Pak Rahmat.
“Ya sudah Evan, kamu boleh ikut ulangan. Tapi nanti sepulang sekolah kamu laksanakan hukuman dari bapak,” kata Pak Rahmat.
Aku merasa lega karena Evan diperbolehkan ikut ulangan. Aku nggak mau aja temen-temenku mendapat nilai jelek, apalagi sampai nggak ikut ulangan. Terlebih aku tahu kalo Evan sebenarnya anak yang cerdas. Hanya dalam 15 menit Evan sudah selesai mengerjakan semua soal. Dia tidur setelah mengumpulkan lembar jawaban ke depan. Itulah kerjaan dia sehari-hari di sekolah, tidur.

Bel pulang sekolah berbunyi, saatnya pulang sekolah. Tanpa disuruh Evan menjalankan hukuman dari Pak Rahmat tadi pagi. Padahal Pak Rahmat aja udah pulang. Sedangkan aku dan anak-anak majalah melanjutkan rapat yang tadi pagi tertunda. Rapat selesai pukul 5. Sebelum pulang aku sempat melihat Evan latihan basket dengan anak basket yang lain. Kalo dilihat-lihat, ternyata Evan keren juga ya, pikirku.
“Ngapain Ra?” tanya Ana membuyarkan lamunanku.
“Ah enggak kok. Eh Na, lihat deh Evan. Keren ya,” ucapku diiringi senyumku.
“Keren dari mananya? Anak begajulan kayak gitu. Udah tukang telat, tukang tidur pula. Lo tadi pagi ngapain sih belain dia segala?” tanya Ana.
“Ya, nggak apa-apa. Kasihan aja kalo sampe dia nggak boleh ikut ulangan,” jawabku.
“Eh, malem ini bukannya lo mau dinner sama Rendra ya?” kata Ana tiba-tiba.
“Oiya, aku lupa. Untung kamu ingetin. Ya udah Na, aku balik duluan ya. Daaah Ana,” pamitku.
Rendra adalah orang yang udah hampir setahun ini nemenin aku, lebih tepatnya pacarku. Dia laki-laki yang baik, cerdas, ramah, penyayang, perhatian, dan romantis. Dia bisa jadi pacar, sahabat, juga kakak. Hari ini hari ulang tahunnya dan dia ngajak aku dinner malem ini.
****

Akhir bulan pun tiba, majalah sekolah edisi terbaru siap diedarkan. Nggak sia-sia siang malem aku lembur kejar deadline. Dan temen-temen interested sama majalahnya.
“Selamat ya sayang, majalah kamu akhirnya terbit juga,” ucap Rendra ketika kami bertemu malam ini. Kami tidak satu sekolah, jadi tidak bisa ketemu setiap hari. Dia sudah kuliah di salah satu universitas ternama di kota ini.
“Makasih Ren, ini berkat dukungan kamu juga,” balasku.
Sudah seminggu lebih Evan tidak masuk sekolah dan tak ada yang tahu alasannya. Guru-guru juga tidak ada yang mau memberi tahu. Suatu hari ada salah satu orang tua murid yang datang ke sekolah mencariku. Beliau minta ijin pada kepala sekolah untuk mengajakku pergi. Setelah diijinkan oleh kepala sekolah, aku mengikuti langkah orang tua tadi. Aku sendiri tak tahu apa maksudnya, karena kepala sekolah hanya bilang “Kamu ikuti saja ke mana Bapak ini pergi”.
Aku semakin bertanya-tanya ketika aku dibawa ke salah satu rumah sakit terbesar di kota ini. Bapak itu mengajakku ke salah satu ruangan di rumah sakit itu. Di sana ada seorang Ibu yang sedang menangis. Terlihat jelas kesedihan amat mendalam di wajahnya.
“Kamu yang namanya Dara?” tanya ibu itu.
“Iya tante. Maaf, tante ini siapa?” tanyaku. Ibu itu tak menjawab dan malah langsung memelukku.
“Ayo sayang, masuk,” ajak Ibu itu setelah beberapa detik memelukku. Aku makin penasaran, apa maksud dari semua ini.
Aku masuk dalam ruangan itu. Aku melihat ada sesosok tubuh yang terbaring di ranjang dengan seperangkat peralatan medis di tubuhnya. Aku berjalan mendekatinya. Semakin terlihat jelas wajah sosok itu. Sepertinya aku mengenalnya. Jantungku berdegup kencang. Nafasku sesak. Ternyata sosok yang ku lihat tak lain adalah Evan. Tak terasa air mata pun membasahi pipiku. Penyakit apa yang sebenarnya diderita Evan? Separah itukah hingga dia harus terbaring di sini dengan peralatan medis yang menyiksa itu?

Mama Evan mulai menceritakan semuanya kepadaku.
“Evan mengidap kanker tulang belakang. Sudah lebih dari satu tahun dia harus mengkonsumsi obat-obatan itu. Tante pernah mengajak Evan untuk berobat ke luar negeri, tapi Evan menolak. Evan bilang pada tante, hanya ada satu obat yang bisa membuatnya bertahan, yaitu dengan melihat Dara. Evan sangat sayang pada Dara. Tapi karena penyakit yang dideritanya, Evan tidak berani menyatakan perasaannya ke Dara,” jelas mama Evan. Air mataku menetes semakin deras.
“Kamu pernah menerima kiriman mawar merah?” tanya mama Evan.
“Iya tante, sudah lebih dari satu tahun Dara menerima kiriman mawar merah. Tapi Dara nggak tahu siapa pengirimnya,” jawabku.
“Bunga-bunga itu dari Evan. Dia meminta tante untuk mengirimkan seikat mawar merah untuk kamu setiap pagi. Kata Evan, hanya lewat bunga-bunga itu dia bisa mengungkapkan perasaannya,” kata mama Evan.
“Evan nitip ini buat kamu,” ucap Rendra yang tiba-tiba ada di belakangku seraya menyerahkan sebuah amplop surat berwarna merah jambu dengan gambar hati padaku.
“Dari Evan? Kamu kenal Evan?” tanyaku heran.
“Ya. Sangat dekat, karena Evan adalah adik kandungku,” jawab Rendra.

Sesaat kemudian komputer yang terletak di meja dekat ranjang Evan menunjukkan bahwa Evan kehilangan detak jantungnya. Kami semua panik. Dengan cepat Rendra memanggil dokter. Dokter segera menangani Evan. Kami di luar menunggu dengan cemas. Aku tak henti-hentinya menangis dan tentu saja berdoa agar Evan diberi kekuatan. Rendra berusaha menenangkanku. Beberapa waktu kemudian, dokter keluar dari ruangan Evan.
“Gimana Dok? Anak saya baik-baik saja kan Dok?” tanya ayah Evan. Dokter hanya diam.
“Evan masih bisa diselamatkan kan Dok?” tanya mamanya.
Dokter menggeleng. “Maafkan kami, kami sudah berusaha semampu kami. Tapi Tuhan berkata lain,” jawab dokter.
“Bapak dan Ibu yang sabar ya, ikhlaskan kepergian Evan,” ucap perawat yang berusaha menguatkan orang tua Evan.
Ya Tuhan, secepat inikah Engkau mengambil Evan kembali ke sisi-Mu. Bahkan dia belum sempat menyampaikan perasaannya padaku. Mengapa Evan tak pernah mengatakan apapun padaku? Menyapa dan ngobrol pun jarang.
Kini aku tahu mengapa Evan sering tak masuk sekolah, mengapa Evan sering terlambat, mengapa Evan sering tidur di kelas, dan mengapa dia tertutup pada semua orang. Karena dia tak mau ada orang lain yang tahu tentang penyakitnya selain keluarga dan dokter yang menanganinya. Terlebih aku baru tahu bahwa laki-laki yang selama ini jadi kekasihku, Rendra, tak lain adalah kakak Evan. Meski begitu, aku tak merasa Rendra membohongiku. Aku tahu dan sadar betul kalo perasaan Rendra tulus padaku.

Di pemakaman Evan, aku hanya bisa menangis. Semalam aku telah membaca surat dari Evan yang dititipkannya pada Rendra. Dalam surat itu dia mengatakan bahwa dia sayang aku. Dia menyukaiku sejak pertama kami bertemu. Dan dia sengaja meminta Rendra untuk mendekatiku dan menjadi pacarku agar dia bisa menjagaku melalui Rendra. Kata Evan, “Setidaknya aku tenang bisa tahu keadaanmu. Aku tenang kalo kamu baik-baik aja. Aku tenang saat melihatmu tersenyum. Kak Rendra akan selalu menjagamu dan menyayangimu. Anggaplah dia aku. Dan jangan pernah bersedih karena kepergianku”.
“Ada satu titipan lagi untuk kamu,” ucap Rendra.
“Apa?” tanyaku.
Rendra menyerahkan seikat mawar merah untukku. “Mawar-mawar ini Evan sendiri yang menanam dan merawatnya. Evan memintaku untuk memetik mawar-mawar ini dan ngasih ke kamu saat dia pergi,” ucap Rendra. Dan itu adalah bunga terakhir dari Evan. Bunga penuh makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar